Zakat Fitrah. Di dalam hadis-hadis tentang zakat fitrah, kita akan mendapatkan
bahwa zakat fitrah itu berupa tha’aam (makanan). Adapun hadis-hadis itu sebagai
berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ
Ibnu Umar mengatakan, "Rasulullah saw. mewajibkan zakat
fitrah satu shaa' dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” (HR.
Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah
satu shaa' dari kurma, atau satu shaa’ dari syair (gandum), atas hamba sahaya,
orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan
muslimin. (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Dari hadis-hadis di atas kita dapat mengetahui bahwa bahwa
Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan: kurma &
gandum.
Apabila hadis-hadis diatas dibaca secara mantuq (makna tersurat)
dan konsisten tidak akan menerima mafhum (makna tersirat), maka zakat fitrah
yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya, yakni kurma dan gandum. Adapun kata
Tha’aam pada hadis Abu Sa’id Al-Khudriy tidak dapat dimaknai makanan secara
umum karena sudah ada bayaan tafshiil (keterangan terperinci) pada hadis-hadis
di atas.
Berdasarkan pendekatan mantuq hadis-hadis itu, maka zakat fitrah
dengan beras atau jagung pada dasarnya tidak sesuai dengan mantuq-nya,
kedudukannya sama dengan mengeluarkan dalam bentuk qiimah (harga atau nilai
barang).
Namun, benarkah demikian pesan utama Nabi saw., yaitu bahwa
zakat fitrah wajib dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?
Hemat kami, kalimat min tamrin atau min sya’iir dalam struktur
kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis (keterangan pengkhusus),
melainkan bayaan lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan
situasi dan kondisi muzakki (wajib zakat) dan mustahiq (penerima zakat) di
suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, dari sisi Muzakki
Kedua jenis makanan tersebut pada waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum. Kondisi ini demikian itu dapat kita peroleh dalam praktik pembayaran zakat fitrah yang dilakukan oleh para sahabat sebagai berikut:
Kedua jenis makanan tersebut pada waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum. Kondisi ini demikian itu dapat kita peroleh dalam praktik pembayaran zakat fitrah yang dilakukan oleh para sahabat sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم حِينَ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ يَقُولُ : صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعٌ
مِنْ شَعِيرٍ قَالَ : فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُخْرِجُ إِلاَّ التَّمْرَ
فَفَنِيَ تَمْرُهُ عَامًا فَأخْرَجَ صَاعَ شَعِيرٍ مَكَانَ التَّمْرِ
“Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw.
ketika mewajibkan zakat fitrah, beliau bersabda, ‘Satu sha' kurma, atau satu
shaa’ syair (gandum). Nafi berkata, ‘Ibnu Umar Ra. bila berzakat tidak pernah
mengeluarkan yang lain selain kurma. Pada suatu tahun ketika kurmanya rusak ia
mengeluarkan satu sha’ gandum sebagai pengganti kurma.” HR. Abd bin Humaid,
Musnad Abd bin Humaid, I:549, No. 1440)
Dalam riwayat lain, Nafi’ menjelaskan dengan redaksi sebagai
berikut:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يُخْرِجُ فِي زَكَاةِ
الْفِطْرِ إِلاَّ التَّمْرَ إِلاَّ مَرَّةً وَاحِدَةً فَإِنَّهُ أَخْرَجَ شَعِيراً
“Sesungguhnya Ibnu Umar Ra. dalam berzakat fitri tidak pernah
mengeluarkan yang lain selain kurma kecuali satu kali, ia mengeluarkan gandum.”
HR. Malik, Al-Muwatha :222, No. 778)
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِي التَّمْرَ
فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا
“Ibnu Umar Ra. bila berzakat dia memberikannya dengan kurma.
Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma, akhirnya Ibnu Umar
mengeluarkan gandum.” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:549, No. 1440;
As-Sunan al-Kubra, IV:160, No. 7467)
Dalam riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan redaksi:
فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ التَّمْرَ عَامًا فَأَعْطَى
الشَّعِيرَ
“Kemudian penduduk Madinah sulit mendapatkan kurma pada suatu
tahun, kemudian ia memberikan gandum.” (Lihat, Sunan Abu Dawud, II:113, No.
1615; As-Sunan al-Kubra, IV:164, No. 7468)
Sehubungan dengan amal Ibnu Umar di atas, Imam al-Baji berkata:
قَوْلُهُ كَانَ لَا يُخْرِجُ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَّا
التَّمْرَ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ قُوتَهُ وَقُوتَ أَهْلِ بَلَدِهِ بِالْمَدِينَةِ
فَلِذَلِكَ كَانَ يَرَى أَنْ لَا يُجْزِيَهُ غَيْرَ التَّمْرِ وَكَانَ يَقْتَصِرُ
عَلَى إخْرَاجِهِ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهُ كَانَ يُخْرِجُهُ مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ
الشَّعِيرِ وَيَقُوتُ بِهِ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَرَى أَنَّ التَّمْرَ أَفْضَلُ
مِنْهُ وَإِنْ كَانَ الشَّعِيرُ يُجْزِيهِ وَقَدْ قَالَ أَشْهَبُ أَحَبُّ إلَيَّ
أَنْ يُخْرَجَ بِالْمَدِينَةِ التَّمْرُ وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُ أَفْضَلُ
أَقْوَاتِهِمْ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكَادُ يُقْتَاتُ فِيهَا إِلَّا التَّمْرُ أَوْ
الشَّعِيرُ وَأَمَّا اقْتِيَاتُ الْقَمْحِ فَنَادِرٌ
“Perkataanya: ‘Dia (Ibnu Umar) dalam berzakat fitri tidak pernah
mengeluarkan yang lain selain kurma,’ karena kurma adalah makanan pokoknya dan
makan pokok penduduk Madinah, karena itu ia berpendapat bahwa zakat fitri itu
tidak memadai dengan yang lain selain kurma, dan ia membatasi zakat fitri hanya
pada kurma. Dan dapat dimaknai pula bahwa, ia mengeluarkan kurma—padahal gandum
pun berkedudukan sebagai makanan pokoknya—karena ia berpendapat bahwa kurma
lebih utama daripada gandum, meskipun dengan gandum memadai pula. Sungguh
Asyhab berkata, ‘Kurma lebih aku sukai untuk dikeluarkan di Madinah.’ Dan aspek
pertimbangan itu bahwa kurma adalah makanan pokok mereka yang lebih utama,
karena hampir tidak ada makanan di sana selain kurma dan gandum. Adapun makanan
pokok berupa qamh (biji gandum) maka jarang.” (Lihat, al-Muntaqa Syarh
al-Muwatha, II:45)
Dari sini dapat diambil kesimpulan, sebagaimana dinyatakan Ibnu
Hajar, bahwa mereka (para sahabat) dalam berzakat fitri mengeluarkan jenis
makanan pokok yang paling utama, dan kurma lebih utama daripada yang lainnya.
(Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, III:376)
Pertimbangan bahwa kedua jenis makanan: kurma dan gandum, pada
waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum lebih diperkuat
dengan sejumlah data faktual yang menunjukkan bahwa pada praktiknya para
sahabat memperluas jenis makanan dari yang “ditetapkan” oleh Nabi saw.
Ibnu Umar menjelaskan:
كَانَ النَّاسُ يُخْرِجُونَ عَنْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ فِي عَهْدِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ تَمْرٍ
أَوْ سُلْتٍ أَوْ زَبِيبٍ
"Dahulu orang-orang mengeluarkan zakat fitrah di zaman Nabi
saw. sebesar satu sha' sya’iir (gandum), tamr (kurma), atau Sult (sejenis
gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau Zabiib (anggur kering)."
(HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2516; As-Sunan Al-Kubra, II:28,
No. hadis 2295)
Abu Said al-Khudriy menjelaskan:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ
صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا
مِنْ زَبِيبٍ
“Kami mengeluarkan zakat fitrah 1 sha makanan atau 1 sha sya’ir
(gandum), atau tamr (kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib
(kismis/anggur kering).” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis
1439)
Dalam redaksi lain
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
أَقِطٍ لَا نُخْرِجُ غَيْرَهُ
"Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa Rasulullah
saw. sebesar satu shaa' kurma, satu shaa' gandum atau satu shaa' susu kering.
Kami tidak mengeluarkan yang lain." (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53,
No. hadis 2518)
Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
كَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“sya’ir (gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu
beku/keju), dan tamr (kurma) adalah makanan kami” (HR. Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439)
Sehubungan dengan itu, meskipun Rasulullah saw. menetapkan zakat
fitrah dengan dua jenis makanan: kurma & gandum, namun bila muzakki
berzakat dengan zabiib (anggur kering) dan aqith (keju) maka penyerahan zakat
mereka tetap diterima. Ibnu Umar menjelaskan:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نُخْرِجَ
زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ وَحُرٍّ وَمَمْلُوكٍ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ قَالَ وَكَانَ يُؤْتَى إِلَيْهِمْ بِالزَّبِيبِ
وَالأَقِطِ فَيَقْبَلُونَهُ
“Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada kami agar
mengeluarkan zakat fitrah atas anak kecil dan dewasa, orang merdeka dan hamba
sahaya, sebesar satu shaa' kurma atau satu shaa’ syair (gandum). Dan diserahkan
kepada mereka zabiib dan aqith, maka mereka tetap menerimanya.” (HR.
Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:175, No. 7528)
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa:
Para sahabat memahami hadis Nabi tentang zakat fitrah itu tidak
secara mantuq (makna tersurat), namun secara mafhum (makna tersirat),
Para sahabat memahami hadis itu bukan sebagai takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya,
Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik di zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.
Para sahabat memahami hadis itu bukan sebagai takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya,
Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik di zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.
Kedua, dilihat dari sisi mustahiq
Kedua jenis makanan itu (kurma & gandum) lebih bermanfaat
untuk orang miskin waktu itu sebagai thu’matan. Dalam hadis diterangkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat
fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai
makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis
1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan
Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1)
Para ulama menjelaskan:
وَطُعْمَةً وَهُوَ الطَّعَامُ الَّذِي يُؤْكَلُ
“Dan kata thu’mah ialah makanan yang disantap.” Dengan perkataan
lain, thu’matan adalah makanan mudah saji dan siap santap. (Lihat Al-Ihkam
Syarh Ushul al-Ahkam, II:172)
Dengan demikian berdasarkan pendekatan bayan lit tanshish
(keterangan penjelas atau prioritas), dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan “barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu
1 sha’. Sehubungan dengan itu, Abu Sa’id al-Khudriyi mengatakan:
لاَ أُخْرِجُ أَبَدًا إِلاَّ صَاعًا
“Saya tidak akan mengeluarkan zakat fitri selamanya kecuali
sebesar 1 sha’.”
Ukuran 1 sha’ dapat dikonversi dalam ukuran isi (liter), berat
(Kg), dan harga (Rp atau mata uang lainnya). Konversi ukuran itu pernah
dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ
تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ
Ia berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai
dengan 1 sha kurma.” Maka orang-orang mengambil konversi itu. (HR. Muslim,
Shahih Muslim, II:678, No. hadis 985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No.
hadis 1616; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:165, No. hadis 7490)
Atas dasar pertimbangan di atas, hemat kami, para tabi’in
sebagai murid shahabat Nabi saw., seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan
al-Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat fitrah oleh harga/uang (dirham).
Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham. (lihat,
Mushannaf Ibnu AbiuSyaibah, II:398)
Silahkan baca: Doa wudhu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar